A. Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia
Konstitusi
merupakan sebuah bangunan. Di setiap negara modern terdapat adanya suatu
konstitusi, karena konstitusi menentukan arah permulaan suatu negara dan untuk
tujuan apa negara itu dikelola.[1]
Dalam satu teori hierarki (Stufenbau Theory) yang dicetuskan oleh
Hans Kelsen, konstitusi berada pada ranah hukum yang tertinggi, sehingga bisa
dikatakan bahwa konstitusi merupakan hukum yang tertinggi dalam suatu negara.
Konstitusi memuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan pokok/dasar yang
mengatur, antara lain:
1.
Tujuan Negara.
2.
Cara untuk mencapai tujuan Negara.
Berkaitan dengan cara untuk mencapai tujuan Negara
ini, dijabarkan dalam:
a.
Mengenai stuktur organisasi Negara.
b.
Hubungan antar negara dengan warga Negara.
c.
Cara untuk mengubah konstitusi itu sendiri.
Terkait dengan struktur organisasi
Negara, inti dari pengaturan struktur organisasi Negara yang dipakai oleh
negara-negara modern yang demokratis adalah untuk mengatur struktur ketatanegaraan.
Hal ini mengandung adanya pengaturan pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan
terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Separation
of Power dan Division of Power. Kedua
pemisahan kekuasaan ini bisa dibedakan dalam pengertian secara horizontal
maupun vertikal. Pemisahan kekuasaan dalam pengertian secara horizontal
melahirkan 3 (tiga) fungsi, antara lain:
a. Rule law making function.
Fungsi membuat peraturan perundang-undangan
(kekuasaan legislatif).
b. Rule application function.
Fungsi menjalankan peraturan perundang-undangan
(kekuasaan eksekutif).
c. Rule ajudication.
Fungsi penegakan/mengadili masalah-masalah yang
timbul dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan (kekuasaan yudikatif).
Adapun yang menjalankan ketiga
fungsi ini lah yang disebut dengan lembaga-lembaga negara. Istilah lembaga
negara sendiri bermacam-macam. Lembaga negara seringkali didekati melalui the concept of the State-Organ
sebagaimana diteoritisasikan oleh Hans Kelsen, yaitu whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ.[2] Definisi ini memiliki cakupan luas
karena yang disebut sebagai organ negara, meliputi siapa saja yang menjalankan
fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum. Apabila dilihat berdasarkan
pengaturannya, ada beberapa jenis lembaga negara, yaitu organ konstitusi
(lembaga negara yang dibentuk dan diatur oleh konstitusi); organ undang-undang
(lembaga negara yang dibentuk dan diatur berdasarkan undang-undang); lembaga
negara yang keberadaannya dibentuk dan diatur oleh Keputusan Presiden atau
Peraturan Presiden; dan lembaga negara yang keberadaannya di daerah dibentuk
dan diatur dengan Peraturan Daerah.
Ada juga yang mengkategorisasikan
lembaga negara berdasarkan fungsinya, yaitu lembaga negara utama (main state organs), yaitu lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan lembaga negara yang bersifat penunjang/bantu
(auxillary state organs), yaitu KPU,
dan KPK. Sedangkan, lembaga negara berdasarkan kategori kedudukan/lapisan,
yaitu lembaga negara lapis pertama, yang disebut lembaga tinggi negara; lembaga
negara lapis kedua, yang disebut lembaga negara, dan lembaga negara lapis ketiga,
yang disebut lembaga daerah. Lembaga tinggi negara merupakan lembaga negara
yang melaksanakan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga negara
meliputi: Menteri Negara, TNI, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, Komisi
Pemilihan Umum dan Bank Sentral, sedangkan Lembaga daerah meliputi: Pemerintah
Daerah Provinsi, Gubernur, DPRD Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten, Bupati,
DPRD Kabupaten, Pemerintah Daerah Kota, Walikota dan DPRD Kota.
Penulis sendiri cenderung setuju untuk
melakukan penyebutan istilah lembaga negara dengan Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga
Negara dibandingkan dengan istilah lembaga negara utama dan lembaga negara
bantu/penunjang, karena jika ada kategorisasi lembaga negara utama atau lembaga
negara bantu, maka akan menimbulkan salah tafsir mengenai kedudukan
lembaga-lembaga negara tersebut di kemudian hari. Salah satu contohnya adalah
mengenai status dan kedudukan Bank Sentral dalam ketatanegaraan di Indonesia,
dalam hal ini dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).
1.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai
Lembaga Negara yang Independen
a.
Dasar hukum Kedudukan Bank
Indonesia sebagai Lembaga Negara Pemegang Otoritas Tertinggi di bidang Moneter
dan Perbankan Negara (Bank Sentral).
Dasar hukum kedudukan BI sebagai
Bank Sentral, antara lain:
1)
Pasal 23A UUDNRI
Tahun 1945
2)
Pasal 23C UUDNRI Tahun 1945
3)
Pasal 23D UUDNRI Tahun 1945
4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
5)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia
b.
Kedudukan Bank Indonesia Sebagai
Bank Sentral
Eksistensi Bank Indonesia selaku Bank Sentral dijamin dalam amandemen UUD 1945 Pasal
23D, yang menyatakan bahwa “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan
undang-undang”. Meskipun eksplisit dinyatakan dalam UUD 1945, namun
kedudukan lembaga Bank Indonesia tidak termasuk dalam Lembaga Tinggi Negara, seperti Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), yang sama-sama eksistensinya dijamin dalam UUD 1945. Status dan kedudukan hukum bank Indonesia
sebagai lembaga negara disebutkan secara tegas pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia,
yakni:
“Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, bebas dari campur tangan dari pemerintah dan / atau pihak-pihak
lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur oleh undang-undang ini”.
Pasal
tersebut memberi pengertian bahwa bahwa Bank Indonesia merupakan lembaga negara
yang otonomi dan mandiri. Sebagai
suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh
dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri
pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk
menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun
juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah
memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia.
Sebagai Lembaga negara yang
independen, kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Di samping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama
dengan Departemen,
karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Status dan
kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif
dan efisien. Meskipun BI berkedudukan
sebagai lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, BI harus
membina hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK, Pemerintah dan
pihak lainnya.
Terkait dengan kedudukan BI sebagai lembaga
negara, terdapat
bermacam-macam pendapat. Ada yang berpendapat bahwa kedudukan BI dimasukkan
dalam lembaga negara bantu/penunjang. Jika hal ini ditafsirkan demikian, maka
akan menjadi sesuatu yang fatal di kemudian hari. Pengertian lembaga negara
bantu adalah lembaga negara yang membantu jalannya lembaga negara utama, dimana
apabila tugasnya dianggap sudah selesai atau tidak diperlukan lagi, maka
lembaga negara bantu dapat dibubarkan sewaktu-waktu oleh lembaga negara utama
(bersifat ad hoc). Apabila kedudukan
BI dimasukkan dalam lembaga negara bantu, maka jika ditarik dari pengertian
tersebut akan membawa implikasi bahwa BI dapat dibubarkan sewaktu-waktu oleh
lembaga negara utama padahal BI merupakan satu-satunya otoritas tertinggi
pelaksana moneter di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang-undang,
sehingga apabila ini diterapkan, maka akan menjadi sesuatu yang fatal sekali
dalam ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, penulis tidak menyebut lembaga
negara utama maupun lembaga negara bantu.
Sebagai lembaga negara yang independen, BI bertindak
sebagai Bank Sentral Negara Indonesia dimana kedudukannya mewakili/bertindak
atas nama Negara dalam lingkungan nasional maupun hubungan dengan negara lain.
Kedudukan BI sebagai Bank Sentral yang independen tidak disebutkan secara implisit dalam UUD 1945,
tetapi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)
bahwa:
“Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik
Indonesia”. Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (2) bahwa “Bank Indonesia adalah
lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang”.
Sebagai Bank
Sentral, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian, yang mempunyai wewenang, antara lain:
a. Menetapkan
macam dan harga mata uang,
b. Menekan
laju inflasi,
c. Pengaturan
kredit atau pembiayaan,
d. Penetapan
tingkat diskonto dan penetapan cadangan wajib minimum.
(Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia).
Kedudukan BI
sebagai Bank Sentral akan terkait dengan pengakuan dari negara lain dimana
pengakuan dari negara lain ini bertujuan untuk memperoleh kedaulatan. Dalam
artian bahwa Negara Indonesia telah mampu mempunyai suatu Bank Sentral seperti
di negara-negara lain yang dipercaya untuk melaksanakan kebijakan moneter,
sehingga BI harus punya kewibawaan untuk tidak terpengaruh dengan kekuasaan
lain. Contohnya adalah kewenangan BI dalam menentukan bentuk uang negara. Bentuk
uang negara merupakan salah satu syarat suatu negara itu diakui karena dianggap
sudah mampu untuk menentukan nilai uang negaranya sendiri melalui lembaga
negara yang diakui untuk melaksanakan kewenangan untuk membentuk uang negara,
yaitu Bank Sentral. Melalui bentuk uang ini, maka terdapat pembentukan nilai
uang negara dimana BI punya otoritas untuk mengawasi peredaran nilai uang negara
tersebut, sehingga apabila dalam Negara Indonesia banyak terjadi pemalsuan
uang, maka akan tidak dipercaya oleh negara lain karena Bank Sentral dianggap tidak
mempunyai kewibawaan untuk tidak terpengaruh dengan intervensi-intervensi dari
luar.
Selain itu,
BI sebagai pengatur kebijakan moneter juga mempunyai kewajiban moral untuk mengontrol
sumber pendapatan daerah atau pusat (APBD/APBN), terutama berkaitan dengan
hasil-hasil kekayaan yang banyak terdapat di daerah. Hal ini kaitannya dengan
pengaturan pada Pasal 33 UUDNRI Tahun 1945, yang mengatur:
“Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal ini membawa konsekuensi bahwa segala sumber
pendapatan pusat maupun daerah yang berasal dari hasil-hasil kekayaan sebagai sumber
keuangan negara, maka diperlukan kendali/kontrol dari BI sebagai Bank Sentral
yang mengatur kebijakan moneter negara.
2. Kedudukan Bank Indonesia Dalam Melaksanakan Ekonomi
Pemerintahan
Kedudukan BI
sebagai lembaga negara yang independen, maka:
a.
BI tidak hanya berkedudukan sebagai pemegang
otoritas dibidang moneter negara saja.
b.
BI juga melaksanakan/menjalankan
ekonomi pemerintahan terkait dengan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Kaitannya
dengan kedudukan BI sebagai pelaksana ekonomi pemerintahan, BI ikut mendukung
pemerintah (eksekutif) dalam menjalankan pemerintahan. Dalam hal ini, kedudukan BI bukan seperti kedudukan
lembaga kementerian yang memang bertugas sebagai pembantu Presiden selaku
Kepala Pemerintahan, tetapi untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui kebijakan
moneternya.
Agus Santoso dan Anton Purba
mengatakan dalam tulisannya yang berjudul “Kedudukan Bank Indonesia dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) dan Usulan Komisi
Konstitusi dalam Konsep Amandemen Kelima UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945” bahwa kewenangan otoritas moneter yang dimiliki Bank Indonesia merupakan
hasil dari sharing of executive power kekuasaan Pemerintah di bidang
ekonomi.[3]
Sharing of executive power ini dimaksudkan untuk menghindarkan Bank Indonesia
dari posisi yang dapat menimbulkan conflict of interest, yaitu antara
“agen program Pemerintah” dan “pengelola kebijakan moneter”. Kedua fungsi
tersebut memang tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga, karena kedua fungsi tersebut
memiliki tujuan yang berbeda. Di satu sisi, Pemerintah memiliki tujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan fiskal dan di lain pihak
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui
kebijakan moneternya. Dengan demikian, pembagian kekuasaan (sharing of
executive power) ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendukung terciptanya
demokratisasi dalam pengelolaan (ekonomi) Negara.[4]
Dalam konsep sharing of executive
power ini, maka Pemerintah memegang otoritas fiskal (dan sektor riil),
sedangkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara yang memiliki fungsi khusus,
yaitu sebagai otoritas di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran,
dengan tujuan menkonstruksikan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat yang
tercermin dari terjaganya kestabilan rupiah. Fungsi ini diyakini tidak dapat
berjalan dengan baik apabila tercampur dengan ragam fungsi departemen pemerintahan
yang sarat dengan tarik menarik kepentingan politik dan seringkali berubah
karena mengandung faktor subyektifitas yang tinggi.[5]
Jadi, dari uraian di atas bisa
disimpulkan bahwa dengan adanya sharing
of executive power ini, kekuasaan Pemerintah dalam kebijakan ekonomi tidak
terkonsentrasi. Hal ini juga secara tegas tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa kekuasaan
Presiden selaku Kepala Pemerintahan “tidak termasuk kewenangan di bidang
moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang
diatur dengan undang-undang”.
Namun, sebagai organ of state, Bank
Indonesia dalam beberapa hal harus tetap berkoordinasi dengan Pemerintah.
Dengan kata lain, hubungan ini dapat digambarkan sebagai fungsi pengelolaan
moneter yang tidak berada di bawah pengelolaan kebijakan fiskal tetapi yang
terpisah, namun tetap bekerjasama dengan pengelola fiskal untuk memperoleh
manfaat yang semaksimal mungkin dalam pembangunan ekonomi nasional.
c. BI juga melaksanakan peran sebagai agen pembangunan dengan mengawasi/mengontrol
bank-bank di daerah yang
bertugas sebagai penyalur dana ke berbagai sektor, misalnya untuk
menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui
pemberdayaan koperasi,
usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan
kerjasama dengan
Bank Umum (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan), seperti BUKOPIN. Sebagai Bank Sentral, BI bertanggungjawab terhadap pertumbuhan
bank-bank di daerah sebagai upaya peningkatan keuangan negara melalui APBD
maupun APBN, mengingat daerah juga punya kewenangan untuk mengatur keuangan
daerahnya sendiri (APBD). Selain itu, BI
juga harus bisa mengkoordinasikan antara bank-bank negeri dengan bank-bank
swasta yang ada sebagai penunjang perekonomian, perdagangan maupun perindustrian
yang terus berkembang melalui ekspedisi, transportasi yang mengakibatkan
transaksi/kontrak yang timbul, dimana pada akhir-akhir ini banyak bermunculan melalui
bank-bank swasta, seperti BCA, Bank Niaga, HSBC dan lain-lain, yang sangat
dominan dalam transaksi perekonomian yang ada.
Kedudukan BI dalam ketatanegaraan
Indonesia sebagai pendukung pelaksanaan ekonomi pemerintahan ini seringkali
menimbulkan pertentangan dengan para Menteri selaku pembantu Presiden dalam
melaksanakan eksekutif terkait dengan kedudukan BI itu sendiri dan
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh BI, karena para anggota BI kebanyakan
diambil dari Menteri Keuangan yang notabene berada di bawah eksekutif, maka
Menteri menganggap bahwa BI itu berada dalam ranah eksekutif, sehingga kedudukan
BI berada di bawah Presiden dan produk yang dihasilkan oleh BI pun berada di
bawah produk hukum pemerintah. Anggapan tersebut dirasa salah karena tujuan
dari diambilnya orang-orang Menteri Keuangan, para pengusaha,
asosisasi-asosiasi untuk mengelola BI sebagai Bank Sentral adalah untuk
mencapai independensi BI itu sendiri, sehingga meskipun BI adalah lembaga
negara yang independen tetapi BI tetap harus bekerjasama dengan pelaksana
kekuasaan eksekutif lainnya kaitannya dengan pembangunan ekonomi nasional.[6]
Berdasarkan uraian-uraian di atas,
sekiranya harus dipahami bahwa kedudukan BI dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia lepas dari kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam pemerintahan. BI
sebagai Bank Sentral merupakan lembaga negara yang independen, yang terlepas
dari campur tangan kekuasaan mana pun sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
1945, meskipun kedudukan BI sebagai lembaga negara tidak hanya sebagai Bank
Sentral saja tetapi juga ikut melaksanakan/menjalankan pemerintahan kaitannya
dengan bidang moneter dan perbankan.
B. Kedudukan Hukum Peraturan BI Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Terkait
dengan kedudukan Bank Indonesia dalam konstitusi, terdapat aspek lain yang
perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai kedudukan hukum Peraturan Bank Indonesia
(PBI) dalam tata peraturan perundang-undangan, dalam hal ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa
BI merupakan suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, bebas dari dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Secara
teori[7],
setiap lembaga negara diberikan kewenangan untuk membuat/mengeluarkan suatu
produk hukum dari institusi/lembaganya tersebut, sehingga dalam hal ini BI juga
berhak mengeluarkan suatu produk hukum karena kedudukan BI sebagai lembaga
negara.
Peraturan-peraturan
yang berhak dikeluarkan oleh BI antara lain Peraturan Bank Indonesia dan
Peraturan Dewan Gubernur.[8]
Menurut undang-undang, BI berwenang mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang
materi muatannya mempunyai sifat sebagai peraturan perundang-undangan. Jika
dipandang berdasarkan Pasal 7ayat
(1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan BI tidak disebut secara khusus
dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, akan tetapi dalam Pasal 8
disebutkan lebih lanjut bahwa jenis peraturan perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dari pengaturan tersebut dapat membentuk suatu
pemahaman bahwa Peraturan BI
tidak disebut secara khusus dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, tetapi
kedudukannya sebagai subordinate
legislation yg melaksanakan dan mendapat delegasi kewenangan mengatur (delegation of rule-making power) dari undang-undang,
sehingga dapat dikatakan berada di bawah undang-undang. Berkenaan dengan
kedudukan Peraturan BI sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang, patut
dikemukakan bahwa Peraturan BI sangat menentukan dalam pencapaian tujuan dan
pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Hal ini juga terkait dengan kedudukan BI
sebagai lembaga negara yang independen. Jika ditarik pemahaman yang
demikian, maka akan memunculkan suatu pertanyaan mengenai bagaimana kedudukan
Peraturan BI terhadap Peraturan Pemerintah (PP) karena keduanya sama-sama
sebagai suatu peraturan pelaksana dari undang-undang.
Prof. Maria
Farida Indrati S berpendapat lain. Menurut beliau[9],
Peraturan BI tidak dapat dimasukkan ke dalam hierarki perundangan nasional,
karena sebagai lembaga negara yang independen, Peraturan Bank Indonesia
tersebut mempunyai hierarki tersendiri, yaitu dari mulai Peraturan Bank
Indonesia, Peraturan Dewan Gubernur serta peraturan-peraturan yang dikeluarkan
Bank Indonesia lainnya, sehingga dari pendapat beliau ini dapat disimpulkan
bahwa produk hukum yang dikeluarkan oleh BI sebagai lembaga negara yang
terlepas dari pemerintahan tidak dapat dipersandingkan dengan hierarki produk hukum
yang dibuat oleh pemerintah, seperti PP yang sama-sama menjalankan
undang-undang.
Prof.
Jimly Asshiddiqie[10]
mengatakan bahwa badan-badan atau lembaga-lembaga seperti ini dapat
mengeluarkan peraturan tersendiri, asalkan kewenangan regulatif itu diberikan
oleh undang-undang. Jika lembaga-lembaga itu diberi kewenangan regulatif, maka
nama produk regulatif yang dihasilkan sebaiknya disebut sebagai peraturan.
Dengan begitu, Gubernur BI tidak perlu mengeluarkan peraturan perbankan dengan
nama Surat Edaran seperti selama ini. Namanya diubah menjadi Peraturan Gubernur
BI yang sifatnya melaksanakan perintah. Begitu pula dengan Peraturan Jaksa
Agung, Peraturan Kepala Kepolisian dan masih banyak lagi, yang ke semuanya
bersifat melaksanakan materi peraturan yang lebih tinggi.
Mengenai
peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, Maria Farida
Indrati S, dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatan) Jilid 1” mengatakan bahwa terdapat dua kelompok norma hukum,
yaitu peraturan pelaksanaan (Verordung) dan peraturan otonom (Autonome
Satzung).[11] Peraturan
pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom
bersumber dari kewenangan atribusi. Yang dimaksud dengan atribusi kewenangan
dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (attributie van
wetgevingsbevoegdheid) adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang
Dasar) atau wet (Undang-Undang) kepada suatu lembaga
Negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan
batas-batas yang diberikan.
Sedangkan,
delegasi kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (delegatie van
wetgevingsbevoegdheid) adalah pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik
pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak dinyatakan dengan tegas.[12]
Kewenangan delegasi ini berbeda dengan kewenangan atribusi, dimana pada
kewenangan delegasi kewenangan tersebut tidak diberikan, melainkan
“diwakilkan”, dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam
arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih
ada.[13]
Dari pengertian kedua kelompok norma hukum tersebut, yaitu peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom, maka Peraturan Bank Indonesia masuk dalam
kategori peraturan otonom, dimana bersumber dari kewenangan atribusi. Pemberian
kewenangan tersebut diberikan dari Undang-Undang (wet) kepada suatu
lembaga Negara, dalam hal ini Bank Indonesia.
Adapun
beberapa hal yang penulis soroti sebagai suatu informasi yang penting kaitannya
dengan kedudukan BI dalam struktur kelembagaan negara Indonesia dan kedudukan
hukum Peraturan BI dalam hierarki perundang-undangan nasional, antara lain:
1.
Melihat kedudukan BI itu sendiri sebagai lembaga negara yang independen,
dimana dalam hal ini BI tidak hanya bertindak atas nama negara saja, yaitu
sebagai Bank Sentral, tetapi sebagai lembaga negara juga berkoordinasi dengan
pelaksana pemerintahan yang lain, seperti Presiden selaku penanggungjawab
keuangan pemerintahan (Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003). Hal ini terkait dengan otoritas/kedaulatan negara dan kewibawaan
negara, khususnya hubungan dengan negara lain, seperti penentuan bentuk uang.
2.
Produk hukum yang dikeluarkan oleh BI harus melihat terlebih dahulu
kedudukan BI sebagai apa. Jika kedudukan BI sebagai lembaga negara yang
independen yang bertindak atas nama negara, maka Peraturan BI tidak bisa
dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan nasional (Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011) dimana BI mempunyai produk hukum sebagai peraturan teknis internal
selaku Bank Sentral mewakili negara sekaligus mewakili pemerintahan, termasuk di
dalamnya kode etik yang dimiliki. Dalam hal ini, secara teknis BI mempunyai
hierarki peraturan perundang-undangan sendiri. Akan tetapi, secara manajemen
atau dalam hal melaksanakan ekonomi pemerintahan yang melibatkan kabinet, dalam
hal ini kementerian yg terkait, seluruh produk-produk hukum dikoordinasikan
secara teknis dengan Presiden melalui Menteri Keuangan dalam melaksanakan ekonomi
pemerintahan, sehingga jika Peraturan BI akan disejajarkan dengan PP atau
peraturan lainnya, maka harus diserahkan terlebih dahulu kepada Presiden selaku
penanggungjawab keuangan pemerintahan, baru Presiden menentukan peraturan yang
akan dikeluarkan kemudian, apakah dalam bentuk Peraturan Presiden atau
Keputusan Presiden atau peraturan lainnya yang sejajar. Dengan demikian, akan
timbul keselarasan antara produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh BI dengan
produk-produk hukum yang dikeluarkan pemerintah dalam hierarkis peraturan
perundang-undangan nasional.
3.
Dalam hal tertentu, hierarki nasional bisa dikesampingkan oleh Peraturan BI
dalam kaitan BI selaku lembaga negara yang diberi otoritas oleh negara untuk
menetapkan kebijakan moneter. Hal ini berkaitan dengan kedudukan BI sebagai
lembaga negara yang khusus atau independen dimana peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh lembaga-lembaga khusus yang demikian ini
lebih tepat diperlakukan sebagai bentuk peraturan yang bersifat khusus (lex specialis) yang tunduk pada prinsip lex specialis derogat lex generalis,
sehingga jika ada PP yg tidak sesuai dengan Peraturan BI, maka PP perlu
ditinjau kembali karena PP yg membuat adalah kabinet, dimana Menteri
kedudukannya lebih rendah dari Gubernur BI.
[1] Kuliah Hukum Konstitusi oleh Prof. Arief Hidayat, S.H.,M.S di MIH Universitas
Diponegoro Semarang, tanggal 20 Juli 2013
[2] Hans Kelsen dalam Tim Peneliti Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, Penataan
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Studi Lembaga Penunjang Negara (Auxillary
State Organ) Dalam Rangka Mewujudkan Sistem Ketatanegaraan yang Efektif dan
Efisien), Hasil Kajian sebagai tindak lanjut kerjasama antara Sekretariat
Jenderal Dewan Ketahanan Nasional dengan Universitas Diponegoro Semarang,
tanggal 10 November 2010, hal. 7
[3]Tanpa Nama, Peran Bank Sentral sebagai
Otoritas Moneter, <http://stasiunhukum.wordpress.com/2009/10/22/peran-bank-sentral-sebagai-otoritas-moneter>,
diakses pada tanggal 22 Oktober 2009
[4] Ibid
[5] Loc.Cit
[6] Wawancara dengan Ibu Amiek Soemarmi, SH MHum, Dosen Hukum Tata Negara
FH UNDIP Semarang, tanggal 22 Juli 2013
[7] Wawancara dengan Ibu Dr. Fifiana Wisnaeni, SH MH, Dosen Hukum Tata
Negara FH UNDIP Semarang, tanggal 22 Juli 2013
[8] Zulkarnaen dan Beni Ahmad Saebani, Hukum
Konstitusi, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012, hal. 275
[9] Yuliana, Salah Satu Peraturan Yang Dikeluarkan Bank Indonesia
Tentang Perbankan, <http://yuliana12345.blogspot.com/2013/03/salah-satu-peraturan-yang-d-keluarkan.html>
[10] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 355
[11] Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan (Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan) Jilid 1, Yogyakarta: Kanisius, 2007
[12] Ibid
[13] Loc.Cit
8 PERMAINAN DALAM 1 USER ID :
BalasHapus*ADU Q
*BANDAR POKER
*BANDAR Q
*CAPSA SUSUN
*DOMINO 99
*POKER ONLINE
*SAKONG
*BANDAR 66 (NEW)
NIKMATI SEGALA PERMAINAN DENGAN RATE KEMENANGAN TERTINGGI HANYA ADA DI P O K E R' V I T A. DENGAN MINIMAL DEPOSIT ANDA TELAH DAPAT MENIKMATI 8 PERMAINAN DI ATAS TANPA HARUS MEMINDAHKAN DANA DARI DOMPET. PERMAINAN DIJAMIN TANPA ROBOT, 100 FAIRPLAY, PLAYER VS PLAYER, TRANSAKSI DIJAMIN AMAN SELAMA 24 JAM PENUH.
HUBUNGI KAMI !!
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
FESTIFAL POKER 2019
JUDI POKER ONLINE UANG ASLI
KARTU POKER ONLINE